Rabu, 24 Maret 2010

Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800 – meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun) adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.

Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.

Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.

Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.

Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia

.Menteri Abadi: Ir Sutami

Sabtu, 24 Oktober 2009
Arswendo Atmowiloto

Program realitas televisi yang hiruk-pikuk dan pemberitaan supersibuk tentang calon, dan kemudian menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, menyeret pembicaraan ramai.

Baik yang bersuka cita karena jagoannya terpilih, atau yang menggerutu dan cemas karena melihat nama-nama dikaitkan dengan jabatan yang tidak pas.

Presiden Yudhoyono sendiri, yang berhak mengangkat menteri-menteri, menyebutkan perbedaan pendapat itu sebagai bagian dari demokrasi.

Tiba-tiba saya ingat menteri yang lain, menteri yang sudah almarhum lama dan harum namanya.

Ir Sutami, Menteri Pekerjaan Umum. Beliau tidak berasal dari partai, dan seorang insinyur, kemudian menjabat dalam bidang yang dikuasai. Dan terus menjabat sebagai menteri yang sama walau kabinetnya bernama Kabinet Dwikora I, II, Kabinet Ampera, atau Kabinet Pembangunan.

Atau bahkan ketika presidennya berbeda. Menteri yang mempimpin departemen dengan anggaran besar—atau sangat besar itu, dikenal sebagai menteri “termiskin di dunia”.

Konon, ia menderita penyakit yang bisa dikategorikan “kurang gizi.” Rumah kediamannya di Solo pernah hampir dicabut aliran listriknya karena tak bisa membayar.

Para wartawan di tahun ‘70-an memunyai keluhan panjang kalau mengikuti beliau meninjau daerah terpecil. Karena kalau perlu, berjalan kaki lebih dari enam jam! Tubuhnya yang kurus basah oleh keringat, senyumnya jarang terlihat.

Tapi tidak selalu tampak serius menakutkan atau angker. Bahkan ketika Proyek Listrik Tenaga Air di Maninjau, Sumatra Barat, yang diperkirakan tak akan bisa dibuat akhirnya berhasil, beliau menggendong pimpro.

Pak Menteri menggendong anak buahnya, sebagai penghargaan, sebagai kekaguman.

“Tukang insinyur” ini ikut pula membidani lahirnya Fakultas Teknik Universitas Indonesia, serta munculnya dan beroperasinya jalan tol yang sekarang dikenal sebagai tol Jagorawi. Kapasitas profesionalnya melampaui keberadaannya sebagai pejabat negara dan dinamika yang dilahirkan.

Seperti munculnya tenaga profesional, dan tetap begitu ketika menjadi badan usaha negara. Kualitas profesionalnya, kerendahan hati dari pribadi, kebersamaan dengan rakyat, seakan menjadikan “menteri ajaib”.

Lebih dari itu, pada masanya, tak ada soal aib, tak ada kasus korupsi yang disangkutkan dengan wewenangnya. Semua berjalan mulus, lurus, tulus.

Pak Tami, demikian sebutan hormatnya, meninggal dalam usia masih muda, 52 tahun, pada tanggal 13 November 1980. Jasa-jasanya, amal baik, menemukan tempatnya di hati rakyat secara luas.

Sedemikian bergemanya hingga bukan hanya bendungan besar yang memakai namanya, melainkan juga waduk-waduk biasa di sepanjang Sungai Brantas dan jalan-jalan yang bukan jalan utama memakai namanya.

Belum terhitung bangunan, atau tempat-tempat tertentu, yang memakai nama beliau secara spontan.

Nama tempat yang berkaitan langsung dengan kebutuhan rakyat seperti air, listrik, jalanan.

Tiba-tiba saya ingat saat seperti ini, dan menunduk hormat. Betapa hebat, tapi juga sebenarnya biasa yang dilakukan sesuai dengan tugasnya, namun melahirkan sesuatu yang luar biasa.

Betapa mencengangkan, tapi sekaligus begitu santun tanpa kata besar seperti mengabdi rakyat, menyejahterakan rakyat, atau menjalankan amanah. Betapa memesona keberadaan beliau sedemikian rupa sehingga rasa-rasanya menteri yang begini adalah makhluk langka.

Di tengah ingar-bingar para menteri, Pak Tami hadir sebagai sosok yang memberi inspirasi, yang mengabdi tanpa memihak kelompok atau komunitas tertentu. Bahkan ketika dipilih dan menjadi pembantu presiden pun, tidak memisahkan dirinya dengan rakyat.

Bahkan kemenangannya memihak rakyat adalah terjemahan langsung sebagai pejabat. Sebagai menteri. Menteri abadi di hati rakyat yang seharusnya bisa diteladani.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar